Sabtu, 19 Mei 2012

Contoh Kasus Hukum Adat

SALAH satu cerminan politik hukum dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), adalah   adanya unifikasi hukum dalam bidang hukum agraria atau pertanahan di Indonesia, walaupun unifikasi tersebut bersifat unik, karena masih memberikan kemungkinan berlakunya hukum adat dan agama. Tetapi, adanya UUPA merupakan tonggak yang sangat penting dalam sejarah perkembangan agraria/pertanahan di Indonesia.
Pengakuan hukum adat dalam UUPA dapat dicermati sejak awal, yaitu melalui Konsiderans/Berpendapat dinyatakan, “perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang tanah”. Dalam Pasal 5 UUPA ditemukan adanya pernyataan, “Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat”.
Makna pernyataan istilah berdasarkan atas dan ialah hukum adat tersebut, menunjukkan adanya hubungan fungsional antara Hukum Adat dan UUPA. Oleh karena itu dalam pembangunan Hukum Tanah Nasional (HTN), Hukum Adat berfungsi sebagai sumber utama dan sebagai hukum yang melengkapi. Di pihak lain UUPA dilihat dari kandungan nilai sosialnya dapat dikategorikan  sebagai  hukum   prismatik,  karena  berhasil   menjadikan  nilai sosial tradisional dan modern secara bersamaan sebagai  dasar   menetapkan prinsip-prinsipnya.
Hubungan fungsional antara UUPA dan hukum adat tampaknya relevan dengan kondisi negara Indonesia yang bercorak multikultural, multietnik, agama, ras, dan multigolongan. Juga, relevan dengan sesanti Bineka Tunggal Ika yang secara de facto mencerminkan kemajemukan budaya bangsa dalam naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi warna pluralisme hukum tampaknya masih mendapat tempat, yaitu dengan mencermati adanya dua/lebih sistem hukum yang saling berinteraksi.
Hubungan fungsional ini juga merefleksikan adanya cita (tujuan) hukum yang tidak hanya secara konvensional  ditujukan untuk menjaga keteraturan dan ketertiban sosial (social order) dalam masyarakat yang fungsinya hanya menekankan sebagai instrumen pengawasan sosial (social control). Dalam masyarakat yang lebih kompleks cita hukum kemudian dikembangkan sebagai alat untuk merekayasa kehidupan sosial (social engineering) untuk mewujudkan nilai kepastian hukum. Namun, cita hukum hendaknya dapat ditingkatkan agar dapat memainkan peran sebagai instrumen untuk memelihara dan memperkokoh integrasi bangsa dalam masyarakat yang bercorak multikultural.
Secara filosofis pembentukan UUPA ditujukan untuk mewujudkan apa yang digariskan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 (yang selanjutnya disebut UUD 1945), bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Pernyataan ini mengandung arti bahwa menjadi kewajiban agar bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan alam yang diletakkan dalam kekuasaan negara untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.  Kesejahteraan  yang dimaksudkan,  kesejahteraan   lahir batin, adil dan merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan mengacu pada pemikiran tersebut, selayaknya  dalam mengimplementasikan UUPA tidak mesti ditemukan adanya kompetisi dengan hukum adat masyarakat setempat, karena antara UUPA dan hukum adat akan berfungsi saling melengkapi (interkomplementer) dan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dalam upaya mengisi kekosongan hukum yang ada, jadi tampak adanya sinergi antara sistem hukum nasional dan sistem hukum adat. Selayaknya hal itu juga dapat memberi rasa keadilan akan eksistensi terhadap hak ulayat sebagai hak adat masyarakat hukum adat setempat.
Dalam kenyataannya beberapa kasus sengketa tanah (ulayat) yang ada dan terus terjadi di Bali sampai saat ini justru menunjukkan adanya kompetisi antara UUPA sebagai hukum negara (state law) di satu sisi dan hukum adat sebagai hukum rakyat (folks law) di sisi lain, yaitu adanya marginalisasi terhadap pengakuan dan perlindungan hak ulayat sebagai hak adat dalam arti hak untuk hidup di dalam memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga adat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu, khususnya mengenai penguasaan dan pemilikan hak atas tanah ulayat oleh persekutuan hukum yang disebut desa adat.
Contoh kasus tanah ulayat, kasus Loloan Yeh Poh di Banjar Tegal Gundul Desa Adat Canggu yang tampak terjadi conflict of interest antara investor sebagai pemegang sertifikat HGB menurut hukum negara (UUPA) dan masyarakat hukum adat sebagai pemegang hak ulayat menurut hukum adat. Tetapi, sampai sekarang belum tampak ada benang merahnya walaupun usaha penarikan ke arah itu sudah ada. Semua itu sangat tergantung pada komitmen yang sungguh-sungguh dari semua pihak terutama dari pemerintah daerah dalam memaknai konseptual “pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya” yang secara normatif telah mendapat pengakuan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti Tap MPR No. IX/MPR/2001, Pasal 18 B (2) UUD 1945, Pasal 2 (9) UU N0. 32/2004, UUPA No.5/1960, UU No. 5/1994, Permendagri No. 3/1997, Permenneg Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahun 1999, Keppres RI No. 34/2003, Perda Provinsi Bali No. 3/2001 Jo No.3/2003, keputusan Bupati Ba¬dung No. 637 Tahun 2003 berkaitan kawasan limitasi, awig-awig desa adat. Namun, semua pernyataan pengakuan tersebut belum diikuti upaya perlindungan hukum dengan sungguh-sungguh secara empiris, sehingga proses pengukuran ulang HGB di atas loloan belum dapat menyelesaikan kompetisi sistem hukum yang ada, karena tidak menyentuh materi kasusnya, yaitu kawasan suci bagi umat Hindu khususnya yang secara tradisi (turun temurun) telah memanfaatkan tempat tersebut untuk melakukan kegiatan keagamaan. Oleh karena itu bagaimana selayaknya pemerintah daerah mencermatinya sesuai dengan misi yang diembannya menurut peraturan perundang-undangan tersebut?
Pertama, penyelesaian masalah harus menyentuh materi kasusnya, dan netralitas sangat dipertaruhkan untuk menghindari adanya kesan yang bersifat memihak (pengelonan menurut Sudargo Gautama) berkaitan dengan adanya conflict of interest, dan sebaliknya mampu merefleksikan nilai  kepastian hukum di satu sisi dengan melakukan inventarisasi dan analisis terhadap norma hukum tertulis, dan di sisi lain dapat menjamin rasa keadilan dengan melakukan inventarisasi dan memahami norma hukum tidak tertulis masyarakat hukum adat. Akhirnya berani mengambil keputusan secara objektif, tepat dan cerdas dari hasil kajian yang dilakukan, sehingga semua kepentingan dapat diayomi. Oleh Rawls disebut keadilan sebagai fairness.
Kedua, pemerintah daerah sekarang harus menjadikan masalah pertanahan dan kekayaan alam sebagai salah satu isu strategis yang diprioritaskan penataannya, yaitu hendaknya membuka peluang bagi upaya penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak masyarakat atas tanah dan kekayaan alam yang selama ini terabaikan, sehingga nantinya adanya sinergi norma dan kepentingan, dan akhirnya fungsi hukum sebagai sarana pengintegrasi  dapat diwujudkan. dalam upaya menciptakan interaksi yang bersifat saling menguntungkan lebih-lebih Bali tetap diminati sebagai tempat berinvestasi, sebagai dampak gerakan Balinisering terdahulu.
Ketiga, dalam perspektif pluralisme hukum, yaitu dengan  adanya lebih dari
Keempat, sifat dinamis masyarakat hukum adat dan hukum adatnya  kalau dimaknai secara tepat akan mampu berintegrasi dan beradaptasi dengan lingkungannya yang makin mengglobal, sehingga semua aktor yang terkait harus mampu memilah hak-hak tradisional yang dapat direlokasi dan dimodifikasi sesuai konsep kekinian, dan yang mana samasekali tidak boleh dimodifikasi dan harus dilestarikan sesuai konsep ajeg Bali. Sehingga, dalam upaya memberi perlindungan hukum pada hak-hak tradisional terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat  tidak menafikan kepentingan pihak lain, seperti investor, sehingga perlindungan hukum secara preventif perlu mendapat pengutamaan, karena sejak awal dalam pembuatan bentuk keputusan, masyarakat hukum adat akan selalu dilibatkan. Juga, diperlukan komitmen untuk melindungi nilai kesucian yang melekat pada hak ulayat yang justru berpotensi dieksploitasi untuk mendatangkan keuntungan ekonomis semua pihak.